Islam Indonesia
Diberdayakan oleh Blogger.
Mengenai Saya
Selamat Datang "Islamic Education"
Cari Blog Ini
Blogger templates
Keutamaan Niat
Di antara banyak hadis, terdapat satu yang menyinggung soal
keutamaan niat. Dari Umar bin Khaththab RA, Rasulullah SAW bersabda,
"Segala amal perbuatan bergantung pada niat dan
setiap orang akan memperoleh pahala sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa
yang berhijrah dengan niat mencari keuntungan duniawi atau untuk mengawini
seorang perempuan, maka (pahala) hijrahnya sesuai dengan niatnya itu".
(HR. Bukhari)
Penjelasannya, Rasulullah SAW mengucapkan hadis ini
ketika beliau hijrah ke Yatsrib atau Madinah. Saat itu, tersiar informasi bahwa
ada seseorang yang ikut berhijrah karena mengejar wanita tunangannya. Nama
wanita itu Ummul Qais. Sehingga pada waktu itu terkenal sebuah istilah muhajjir Ummul
Qais atau yang berhijrah karena Ummul Qais. Niat biasanya diartikan sebagai
getaran batin untuk menentukan jenis ibadah yang kita lakukan.
Contoh, kalau kita melakukan shalat pukul 05.30, ada beberapa
kemungkinan; shalat Syukrul Wudhu, shalat Tahiyatul
Masjid, shalat Fajar, Istikharah, atau shalat Shubuh.
Setidaknya ada enam kemungkinan. Kita lihat semuanya sama, gerakannya sama,
bacaannya sama, rakaatnya sama, tapi ada satu yang membedakannya yaitu niat.
Masalah niat termasuk salah satu masalah yang mendapatkan perhatian
"serius" dalam kajian Islam.
Niat dibahas panjang lebar baik itu dalam ilmu fikih, ushul
fikih, maupun akhlak. Dalam ilmu fikih, niat ditempatkan sebagai rukun pertama
dari rangkaian ibadah, seperti dalam shalat, zakat, puasa, maupun ibadah haji.
Niat dalam ushul fikih biasanya dijadikan salah satu faktor yang menentukan
status hukum suatu perbuatan. Nikah adalah salah satu contohnya. Ia bisa
berstatus wajib, haram, dan sunnat, tergantung pada niat dari nikah tersebut.
Begitu pula ketika seseorang memakai gelar haji setelah pulang
dari Makkah, hukumnya bisa wajib, bisa sunnat, bahkan haram. Tingkatannya
sangat tergantung pada niat untuk apa ia memakai gelar haji tersebut. Niat
dalam sudut pandang akhlak pengertiannya lebih menunjukkan getaran batin yang
menentukan kuantitas sebuah amal. Shalat yang kita lakukan dengan jumlah rakaat
yang sama, waktu yang sama, dan bacaan yang sama, penilaian bisa berbeda antara
satu orang dengan yang lainnya tergantung kualitas niatnya.
Niat yang tertinggi kualitasnya disebut ikhlas; sedangkan niat
yang paling rendah kualitasnya disebut riya atau sum'ah,
yaitu beribadah karena mengharapkan sesuatu selain keridhaan Allah. Rasulullah
SAW pernah menyampaikan kekhawatiran tentang sesuatu yang di kemudian hari bisa
menjangkiti umatnya. Beliau bersabda, "Sesungguhnya ada sesuatu yang aku
takutkan di antara sesuatu yang paling aku takutkan menimpa umatku kelak, yaitu
syirik kecil.
Para sahabat bertanya, 'Apakah syirik kecil itu?' Beliau
menjawab, riya. Dalam sebuah hadis diceritakan pula bahwa di akhirat kelak akan
ada sekelompok orang yang mengeluh, merangkak, dan menangis. Mereka berkata,
"Ya Allah di dunia kami rajin melakukan shalat, tapi kami dicatat sebagai
orang yang tidak mau melakukan shalat".
Para malaikat menjawab, 'Tidakkah kalian ingat pada waktu kalian
melakukan shalat kalian bukan mengharap ridha Allah, tapi kalian mengharap
pujian dari manusia, kalau itu yang kalian cari, maka carilah manusia yang kau
harapkan pujiannya itu." Jelaslah, bahwa kualitas sebuah amal berbanding
lurus dengan kualitas niat yang melatarbelakanginya.
Bila niat kita lurus, maka lurus pula amal kita. Tetapi bila
niat kita bengkok, maka amal kita pun akan bengkok. Agar niat kita senantiasa
lurus dan ikhlas, alangkah baiknya apabila kita menghayati kembali janji-janji
yang selalu kita ucapkan saat shalat, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah seru sekalian alam".
Ikhlas dan Riya’
Ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya
amal ibadah oleh Allah SWT, selain ilmu dan sesuai dengan sunah Rasulullah Saw. Demikianlah keikhlasan menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat
lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya
akan menyebabkan amal tidak nikmat.
Ikhlas hadiah Allah kepada hamba
yang mujahadah mendekat kepada Allah. Ikhlas buah dari tauhid yang kuat dan
bersih. Ikhlas cenderung menyembunyikan amal. Ikhlas menjawab pujian dan hinaan
dengan doa.
Ikhlas sangat suka muhasabah diri, nasihat dan dikoreksi. Ikhlas sabar tahan banting dalam taat. Ikhlas siap diperintah dalam medan jihad sekalipun dan sebagai apapun. Ikhlas kuat sekali ittibaur Rasulnya.
Ikhlas marah bencinya karena Allah. Ikhlas senang kalau saudaranya meraih rezeki atau keistimewaan. Ikhlas sumber kemuliaan akhlak, sabar, syukur, wara', zuhud, qonaah Ikhlas lebih memilih keridhaan Allah daripada ridho manusia.
Ikhlas tidak mudah marah karena dia memahami semua keputusanNya. Ikhlas karunia terbesar dari Allah untuk hambaNya. Ikhlas hamba Allah yang paling bahagia 'Assaiid'. Ikhlas memahami lillaahi, fillaahi wa ilallaahi.
Ikhlas buah dari ihsan, merasakan tatapan dan kehadiran Allah. Ikhlas kunci berkah, rezeki berkah, rumah tangga berkah, semakin lama semakin bahagia dan semua aktivitas berkah.
Riya merupakan sifat atau ciri khas
orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.
Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka
menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”
Riya juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di hari kiamat ketika membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya di dunia dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasannya?'” (HR Ahmad).
Dan orang yang berbuat riya pasti mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah melakukan amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa berinfak, semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas kepada Allah. Kata Rasulullah saw., “Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari akhir.”
Keutamaan lmu dan ulama’
Tentang keutamaan ulama, dalam ayat Al-Qur’an:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا
مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاتٍ
“Allah mengangkat derajat
orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu” (QS
Al-Mujadalah ayat 11). Menurut KH Hasyim Asy’ari, alasan Allah
mengangkat derajat para ahli ilmu adalah karena mereka dapat mengaplikasikan
ilmu mereka dalam kehidupannya. Beliau memberikan tafsir (interpretasi) ayat di
atas sebagai berikut:
أي ويرفع العلماء منكم درجات بما
جمعوا من العلم والعمل
“Maksudnya Allah mengangkat derajat
ulama dari kalian sebab mereka mampu menggabungkan ilmu dan amal.”
Selanjutnya KH Hasyim Asy’ari menjelaskan selisih derajat ulama dibandingkan orang Muslim pada umumnya dengan mengutip sabda Sahabat Ibnu ‘Abbas:
Selanjutnya KH Hasyim Asy’ari menjelaskan selisih derajat ulama dibandingkan orang Muslim pada umumnya dengan mengutip sabda Sahabat Ibnu ‘Abbas:
درجات العلماء فوق المؤمنين بسبعمائة
درجة درجة ما بين الدرجتين خمسمائة عام
“Para ulama mempunyai derajat yang lebih
tinggi daripada orang-orang mukmin pada umumnya dengan selisih 700 derajat dan
di antara dua derajat terpaut selisih 500 tahun.”
Apa yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari ini senada dengan penjelasan al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith dalam kitab al-Manhaj al-Sawi. Habib Zain menjelaskan alasan terpautnya selisih derajat yang sangat jauh antara orang berilmu dan selainnya dalam statemen beliau sebagai berikut:
Apa yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari ini senada dengan penjelasan al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith dalam kitab al-Manhaj al-Sawi. Habib Zain menjelaskan alasan terpautnya selisih derajat yang sangat jauh antara orang berilmu dan selainnya dalam statemen beliau sebagai berikut:
قلت وذلك لأن العلم أساس العبادات
ومنبع الخيرات كما أن الجهل رأس كل شر وأصل جميع البليات.
“Aku berkata. Demikian itu
karena ilmu adalah asasnya ibadah-ibadah dan sumber beberapa kebaikan,
sebagaimana kebodohan adalah pangkal setiap keburukan dan sumber seluruh
musibah” (al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith, al-Manhaj al-Sawi, hal.
77).
Hadratussyekh selanjutnya mengutip ayat “Allah, para malaikat dan orang-orang yang berilmu bersaksi bahwa tiada tuhan selain-Nya.” (QS Ali Imran ayat 18). Dalam ayat tersebut Allah Swt telah mengawali dengan penyebutan Allah sendiri, selanjutnya menyebutkan para malaikat-Nya dan terakhir menyebutkan para ahli ilmu, penyebutan ini sangat cukup untuk menyimpulkan bahwa ulama memiliki kedudukan yang tinggi di sisi-Nya. KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa ada dua ayat yang menunjukan bahwa ulama adalah makhluk Allah terbaik. Pertama firman Allah:
Hadratussyekh selanjutnya mengutip ayat “Allah, para malaikat dan orang-orang yang berilmu bersaksi bahwa tiada tuhan selain-Nya.” (QS Ali Imran ayat 18). Dalam ayat tersebut Allah Swt telah mengawali dengan penyebutan Allah sendiri, selanjutnya menyebutkan para malaikat-Nya dan terakhir menyebutkan para ahli ilmu, penyebutan ini sangat cukup untuk menyimpulkan bahwa ulama memiliki kedudukan yang tinggi di sisi-Nya. KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa ada dua ayat yang menunjukan bahwa ulama adalah makhluk Allah terbaik. Pertama firman Allah:
إِنَّما يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبادِهِ
الْعُلَماءُ
“Hamba Allah yang takut kepada Allah hanyalah
para ulama” (QS Fathir ayat 28).
Kedua firman Allah dalam surat
al-Bayyinah:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ
أُولئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal shalih, merekalah makhluk yang terbaik” (QS Al-Bayyinah
ayat 7). Setelah mengutip dua ayat di atas, Hadratussyekh memberi
kesimpulan:
فاقتضت الآيتان أن العلماء هم الذين
يخشون الله تعالى والذين يخشون الله هم خير البرية فينتج أن العلماء هم خير البرية
“Dua ayat di atas menuntut
bahwa para ulama adalah mereka yang takut kepada Allah, orang-orang yang takut
kepada Allah adalah makhluk terbaik. Maka menyimpulkan bahwa para ulama adalah
makhluk terbaik.” KH Hasyim Asy’ari juga mendasari pendapatnya tentang
keutamaan ulama dengan beberapa hadits Nabi, di antaranya: “Barangsiapa yang
dikehendaki baik oleh Allah Swt, maka Allah akan memberikan pemahaman kepadanya
dalam permasalahan agama.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain
disebutkan “Para ulama merupakan pewaris para Nabi.” (HR al-Tirmidzi dan
lainnya). KH Hasyim Asy’ari mengungkapkan bahwa derajat sebagai pewaris para
nabi yang disebutkan dalam hadits memberikan indikasi kuat bahwa ulama memiliki
kedudukan yang sangat agung dan mulia, bahkan merupakan derajat yang terbaik sepeninggal
para Nabi. Beliau menyampaikan kesimpulan tersebut dengan argumentasi sebagai
berikut:
وإذا كان لا رتبة فوق النبوة فلا شرف فوق شرف
الوراثة لتلك الرتبة
“Ketika tidak ada derajat yang lebih mulia
daripada derajat kenabian, maka tidak ada kemuliaan yang dapat mengalahkan
kemuliaan para pewaris derajat kenabian tersebut (yaitu para ulama).”
Selanjutnya KH Hasyim Asy’ari
menyatakan bahwa puncak dari keilmuan seseorang adalah pengamalan ilmu tersebut
dalam kehidupan sehari-hari, sebab hal itu merupakan buah dari ilmu dan faedah
kebaikan dari umur seseorang serta merupakan bekal yang akan berguna di akhirat
kelak, maka siapa saja yang dapat menggapai itu semua maka ia akan berbahagia
baik di dunia maupun di akhirat, dan barangsiapa yang tidak dapat menggapainya
maka ia akan berada dalam kerugian. Hadratussyekh juga menyampaikan
hadits Nabi tentang perbandingan ahli ibadah dan ulama. Disebutkan dalam sebuah
riwayat bahwa ada dua orang sowan menghadap baginda Nabi Muhammad Saw, salah
seorang di antara mereka merupakan ahli ibadah, sedang yang lain merupakan ahli
ilmu. Nabi mengatakan tentang perbandingan keduanya dalam sabda beliau
“Keutamaan orang yang berilmu berada di atas orang yang ahli ibadah layaknya
keutamaanku atas orang-orang yang paling rendah derajatnya di antara kalian”
(HR al-Tirmidzi).
Belajarlah! Berkait dengan keutamaan mencari ilmu, KH Hasyim Asy’ari menyebut hadits Nabi “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah subhanahu wata’ala akan memberinya jalan menuju surga” (HR Ahmad, Abu Daud dan lainnya). Dalam hadits lain Nabi bersabda “Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam, laki-laki dan perempuan. Setiap sesuatu yang di dunia ini akan memintakan pengampunan kepada Allah Swt untuk para pencari ilmu, hingga ikan di laut pun ikut memintakan pengampunan baginya.” (HR Abu Daud, al-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Sebagai catatan tambahan, doa pengampunan ikan-ikan di laut untuk orang berilmu tidak hanya dipanjatkan saat mereka hidup, namun juga berlaku setelah wafat hingga akhir kiamat, sebab ilmu ulama akan senantiasa bermanfaat setelah mereka wafat hingga hari kiamat
Belajarlah! Berkait dengan keutamaan mencari ilmu, KH Hasyim Asy’ari menyebut hadits Nabi “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah subhanahu wata’ala akan memberinya jalan menuju surga” (HR Ahmad, Abu Daud dan lainnya). Dalam hadits lain Nabi bersabda “Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam, laki-laki dan perempuan. Setiap sesuatu yang di dunia ini akan memintakan pengampunan kepada Allah Swt untuk para pencari ilmu, hingga ikan di laut pun ikut memintakan pengampunan baginya.” (HR Abu Daud, al-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Sebagai catatan tambahan, doa pengampunan ikan-ikan di laut untuk orang berilmu tidak hanya dipanjatkan saat mereka hidup, namun juga berlaku setelah wafat hingga akhir kiamat, sebab ilmu ulama akan senantiasa bermanfaat setelah mereka wafat hingga hari kiamat
Sifat munafik dan tanda-tandanya
Dalam Islam terdapat 3 ciri-ciri orang munafik seperti yang
disampaikan oleh baginda Rasulullah SAW dalam sabdanya yang berbunyi.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ
النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم – قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ
كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW
bersabda, Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika
berjanji dia mengingkari, dan jika diberi amanah dia berkhianat (HR. Al-
Bukhari)
Selain dari Al-Hadist, Allah SWT juga telah menjelaskan
ciri-ciri orang munafik dalam bagian awal surat Al-baqarah. Pada awalan surat
tersebut Allah menjelaskan tentang tiga golongan manusia, yaitu orang-orang
mukmin, orang-orang kafir, dan orang-orang munafiq.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 14:
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا
إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Artinya: Dan apabila mereka
berjmpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, “Kami telah beriman.” Tetapi
apabila mereka apabila mereka kembali pada setan-setan (para pemimpin) mereka,
mereka berkata “Sesungguhnya kami bersamamu, kami hanya berolok-olok.”
Kemudian Allah SWT membalas perkataan mereka dalam ayat
selanjutnya.
اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ
يَعْمَهُونَ
Artinya: Allah akan
memperolok-olokkan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam
kesesatan.
Dalam ayat-ayat Al-Quran surat Al-Hadid ayat 12-14, Allah Ta’ala
menunjukkan balasan terhadap orang-orang munafik ketika berada di akhirat. Pada
ayat-ayat yang lain seperti surat At-Taubah ayat 63 dan 68 yang berisi ancaman
bahwa kelak mereka akan dimasukkan ke dalam neraka jahannam.
Langganan:
Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar